Minggu, 21 Agustus 2011

Pasal-Pasal Yang Multi Tafsir atau disebut Norma Yang Kabur

Contoh Pasal Multitafsir 1


YANG DI MAKSUD PENYELENGGARA JALAN
DALAM PASAL 273 UU NO. 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Oleh : Fayakun
Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Merdeka Malang

I. Pendahuluan
Di dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan disebutkan Pasal 203 ayat (1) bahwa, “Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan” dan di Pasal 24 ayat (1), Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Dan di ayat (2)-nya. Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas. bahkan di Pasal 273 yang memuat ketentuan Pidana ini menyebutkan bahwa, untuk Penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak dapat di berikan sanksi pidana apabila, Pertama, menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang, dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 12 juta. Kedua, mengakibatkan luka berat, dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta. Ketiga, mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta. Dan Keempat, tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki dipidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 juta.
Di dalam UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalulintas Dan Angkutan Jalan tersebut hanya disebutkan sebagai penyelenggara jalan, tetapi tidak secara langsung disebutkan lembaganya. Jadi, dalam hal ini masih sumir mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan jalan itu. Ketidakpastian hal tersebut bisa berdampak pada penerapan pasal 273 tersebut oleh penegak hukum, sehingga Pasal 273 ini tidak bisa dilaksanakan dilapangan pada prakteknya, atau bahkan penegak hukum harus menunggu Peraturan Pemerintah yang mengatur secara lebih rinci tentang masalah penyelenggara jalan tersebut.
Didalam pasal tersebut dikemukakan tentang tanggungjawab pidana penyelenggara jalan, akan tetapi rumusan pasal tersebut tidak menjelaskan siapa penyelenggara jalan tersebut, pasal tersebut bila kita analisis menggunakan asas-asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka isi pasal tersebut tidak memenuhi Asas Kejelasan rumusan.
Dalam Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dengan dasar hukum tersebut, maka dapat menggunakan metode penafsiran atau metode penemuan hukum yang ada, Sehingga Undang-Undang No.22 tahun 2009 ini bisa diterapkan tanpa harus menunggu Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaannya.
Isu hukum dalam hal ini adalah siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan pada Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan menurut UU No. 22 Tahun 2009.

II. Ketentuan UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
Pasal 273 Ayat (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut  memperbaiki  Jalan  yang  rusak  yang mengakibatkan  Kecelakaan  Lalu  Lintas  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban  luka  ringan  dan/atau  kerusakan  Kendaraan dan/atau  barang  dipidana  dengan  penjara  paling  lama  6 (enam) bulan  atau denda  paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Dalam Penjelasan berbunyi “cukup Jelas”.

III.Pertanyaan Hukum
Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan pada Pasal 273 UU No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan ?


IV. Analisis
A.    Dasar Hukum
1.      UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
2.      Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan

B. Pengertian Penyelenggara Jalan
Menurut Mochtar Kusumaatmadja ada 7 macam penafsiran hukum , yaitu :
1.      Interpretasi bahasa atau tata bahasa
2.      Interpretasi sejarah
3.      Interpretasi sistematis
4.      Interpretasi sosiologis
5.      Interpretasi teleologis
6.      Tafsir otentik
7.      Teleluasaan interpretasi oleh hakim : kebalikan dari interpretasi otentik

Sedangkan C.S.T.Kansil menyebutkan ada 10 macam cara penafsiran, yaitu :
1.      Penafsiran Tata Bahasa : Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan beredoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
2.      Penafsiran Sahih (autentik, resmi) : Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
3.      Penafsiran Historis : penafsiran berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang tersebut, atau maksud pembentuk undang-undang pada waktu itu.
4.      Penafsiran Sistematis (dogmatis) : Penafsiran menilik dari susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu, maupun dengan undang-undang yang lain.
5.      Penafsiran Nasional : Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
6.      Penafsiran Teleologis (Sosiologis) : Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undng-undnag ini.
7.      Penafsiran Ekstensif : Memberi tafsirn dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya.
8.      Penafsiran Restriktif : Penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
9.      Penafsiran analogis : Memberi tafsiran pada sesuatu peraturn hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
10.  Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) : Suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.

Dalam mengulas Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan penulis menggunakan pendekatan signifikasi penafsiran hukum sebagai penyelesaian yakni (1) the golden rule yakni suatu penafsiran perbaikan dengan pemahaman situasinya dengan melihat makna dibalik kata tersebut dengan melihat tujuan Undang-undang dibuat. (2) the literal rule yakni berkaitan dengan pengertian kata-kata dalam isi Undang-undang.
Lalu bagaimana dengan isi Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, Siapakah yang dimaksud penyelenggara jalan tersebut ?
Bila kita menggunakan metode penafsiran otentik atau resmi, ternyata di dalam Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan tersebut tidak dijelaskan definisi atau siapa penyelenggara jalan tersebut UU hanya menyebut “cukup jelas”. Lalu selanjutnya bila kita menggunakan metode penafsiran sistematis, maka kita bisa temukan definisi penyelenggara jalan tersebut di pada Undang-Undang No. 38 tahun 2004 Tentang Jalan, Pasal 1 huruf 14 UU tersebut mendefinisikan Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya.
Dari pasal tersebut di atas yang harus kita ketahui selanjutnya yaitu masalah kewenangannya. Untuk masalah kewenangannya bisa kita lihat pada,
Pasal 13 yakni :
1.      Penguasaan atas jalan ada pada negara.
2.      Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan.
Kemudian Pasal 14
1.      Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional.
2.      Wewenang penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
Pasal 15 :
1.      Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan provinsi.
2.      Wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi.
3.      Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada Pemerintah.
4.      Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
Pasal 16
1.      Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa.
2.      Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota.
3.      Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan.
4.      Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.
5.       Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelengaraan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wewenang penyelengaraan jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyerahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah

Pasal 45
1.      Wewenang penyelenggaraan jalan tol berada pada Pemerintah.
2.      Wewenang penyelenggaraan jalan tol meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan pengawasan jalan tol.
3.      Sebagian wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh BPJT.
4.      BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Menteri, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada Menteri.
5.      Keanggotaan BPJT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan, dan unsur masyarakat.

Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis dan dilihat dari isi pasal-pasal di atas maka bisa kita ketahui siapakah yang di maksud dengan “Penyelenggara Jalan” dalam Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1.      Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.
2.      Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Propinsi
3.      Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kota.
4.      Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.
5.      Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.
V.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dengan menggunakan menggunakan metode penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa penyelenggara jalan yang dimaksud dalam Pasal 273 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1.      Untuk jalan nasional sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.
2.      Untuk jalan propinsi sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Propinsi
3.      Untuk jalan kota sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kota.
4.      Untuk jalan kabupaten dan jalan desa sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Kabupaten.
5.      Untuk jalan tol sesuai dengan kewenangannya, maka yang bertanggungjawab adalah Pemerintah Pusat.


Contoh Pasal Multitafsir 2


PENAFSIRAN TERHADAP MAKSUD
SETIAP ORANG YANG MEMBERIKAN IJAZAH MENURUT KETENTUAN PASAL 67 AYAT (1) UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

I. Latar Belakang
Menurut Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, di pidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta).” Dalam penjelasan “cukup jelas”.
Didalam pasal tersebut disebutkan ancaman di pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta) bagi setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, akan tetapi rumusan pasal tersebut masih adanya multi tafsir terhadap adanya kata “setiap orang yang membantu memberikan ijazah”.
Apakah pengertian “membantu memberikan ijazah” dapat disamakan dengan orang yang “membantu menyerahkankan ijazah?,  orang yang membantu ikut menerbitkan ijazah?  Ataukah orang yang membantu membuat ijazah? Dalam hal ini pembuat Undang-undang tidak memberikan penjelasan yang tegas, baik didalam ketentuan umum maupun dibagian penjelasan hanya  tertulis “cukup jelas”. Hal ini dapat menimbulkan multitafsir. Karena orang dapat saja mengatakan ; “Saya tidak membantu memberikan, tetapi hanya sebatas menyerahkan”!....
Undang-undang tersebut harus ada kepastian pengertian yang dimaksud dengan kata “membantu memberikan ijazah” karena kalau sampai teks Undang-undang tidak tegas dan jelas maka dikawatirkan akan terjadi salah penerapan. Misalnya A mendapat titipan untuk memberikan ijazah ke B, namun A ternyata tidak tahu kalau isi titipan tersebut ternyata ijazah dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan. Apakah A dapat dianggap ikut membantu memberikan ijazah? Apakah yang dimaksud kata “membantu memberikan” oleh pembuat Undang-undang adalah “yang membantu menerbitkan” atau “yang membuat membuat” Ijazah? atau apakah termasuk orang yang ikut menyerahakan. Hal ini harus ada kejelasan.

II. Pertanyaan Hukum
Apakah pengertian kata yang dimaksud dengan kalimat “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah di dalam ketentuan Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional?

III. Pembahasan
Menurut Simons sebagaimana disitir Ateng Syafrudin bahwa kepercayaan atau yang diperintah terhadap peraturan perundang-undangan itu hanya dapat dipertahankan, bilamana peraturan perundang-undangan itu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Selain daripada adil, suatu peraturan perundang-undangan harus pula memenuhi persyaratan-persyaratan teknis, tepat, cocok untuk mencapai maksud dan tujuannya tanpa menghamburkan energi (tenaga) yang tidak perlu .
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa, Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a.       Kejelasan tujuan;
b.      Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.       Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.      Dapat dilaksanakan;
e.       Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.       Kejelasan rumusan; dan
g.      Keterbukaan.
Selain Undang-Undang tersebut di atas, para ahli juga mengemukan pendapatnya tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu I.C. van der Vlies dan A.Hamid.S.Attamimi. Didalam bukunya yang berjudul ”Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving” I.C.van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik ke dalam asas-asas yang formal dan materiil.

Asas-asas yang formal meliputi :
1.      Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2.      Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3.      Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4.      Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5.      Asas konsensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas yang materiil meliputi :
Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek);
1.      Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
2.      Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
3.      Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
4.      Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
Ada 7 macam cara penafsiran/ Interpretasi yang bisa dilakukan, yaitu :
1.      Interpretasi bahasa atau tata bahasa
2.       interpretasi sejarah
3.      Interpretasi sistematis
4.      interpretasi sosiologis
5.       interpretasi teleologis
6.      tafsir otentik
7.      keleluasaan interpretasi oleh hakim : kebalikan dari interpretasi otentik

Sedangkan C.S.T.Kansil menyebutkan bahwa ada 10 macam cara penafsiran, yaitu :
1.      Penafsiran Tata Bahasa : Cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan beredoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.
2.      Penafsiran Sahih (autentik, resmi) : Penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang.
3.      Penafsiran Historis : penafsiran berdasarkan sejarah terjadinya undang-undang tersebut, atau maksud pembentuk undang-undang pada waktu itu.
4.      Penafsiran Sistematis (dogmatis) : Penafsiran menilik dari susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu, maupun dengan undang-undang yang lain.
5.      Penafsiran Nasional : Penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
6.      Penafsiran Teleologis (Sosiologis) : Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undng-undnag ini.
7.      Penafsiran Ekstensif : Memeberi tafsirn dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya.
8.      Penafsiran Restriktif : Penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
9.                               
 Penafsiran analogis : Memberi tafsiran pada sesuatu peraturn hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
10.  Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) : Suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
Dari berbagai macam cara penafsiran di atas penulis berpendapat bahwa cara penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan sistematik harus di dahulukan dibanding dengan cara penafsiran yang lainnya, karena penafsiran otentik,sahih, atau resmi dan Penafsiran sistematik penafsirannya akan lebih kuat secara hukum karena berdasarkan isi peraturan perundang-undangan juga. Penafsiran otentik adalah penafsiran yang diberikan oleh pembuat Undang-undang sebagaimana yang biasa dilampirkan dalam penjelasan jadi sumbernya ada didalam Undang-undang itu sendiri mengikat secara umum.

Lalu bagaimana dengan isi Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan kalimat “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah” Siapakah yang dimaksud Setiap orang yang membantu memberikan ijazah tersebut? Pertama, bila kita menggunakan metode penafsiran otentik atau resmi, ternyata di dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut tidak dijelaskan definisi yang membantu memberikan ijazah tersebut.  Kedua, bila kita menggunakan signifikansi penafsiran hukum “the literal rule” yakni berkaitan dengan pengertian kata-kata dan dengan menggunakan metode Penafsiran Tata Bahasa (gramatikal)  yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang dengan menggunakan arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Misalnya “membantu memberikan ijazah” adalah tidak dapat disamakan dengan “membantu membuat ijazah” dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan. Hal ini untuk memberi pembedaan antara kalimat “memberikan“ dengan kalimat “membuat” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 263 KUHP mengenai tindak pidana pemalsuan surat (termasuk ijazah/surat tanda tamat belajar).Maka kita bisa temukan definisi kata membantu memberikan ijazah tersebut adalah hanya bagi orang yang berkaitan dengan kedudukan serta kompetensi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan karena ia ikut mengetahui perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003.
Dan kata “membantu memberikan ijazah” adalah hendaknya orang yang membantu ikut berperan menerbitkan atau berperan ikut membantu “membuat” ijazah. sedangkan A yang tidak ada kaitanya atau hubungannya dengan perbuatan pembuatan ijazah namun ia mendapat titipan untuk memberikan ijazah tersebut ke B maka menurut penulis tidak dapat dikategorikan Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

IV. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dengan menggunakan menggunakan metode penafsiran Tata Bahasa (gramatikal) dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat “Setiap orang yang membantu memberikan ijazah” dalam arti membantu terhadap satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana di dalam ketentuan Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu :

1.      Berlaku hanya bagi orang yang berkaitan dengan kedudukan serta kompetensi dari satuan atau lembaga pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan karena ia ikut mengetahui perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003.
2.      Orang yang membantu memberikan ijazah namun ia tidak ada kaitannya dengan kedudukan serta kompetensi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan, tidak dapat dianggap memenuhi Pasal 67 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003.

V. Saran
Harus ada ketegasan pengertian antara kata-kata “memberikan“, “membuat”, dan kata “menerbitkan”  dalam Pasal 67 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 agar tidak salah penerapan.



Daftar Pustaka
Buku :
1.    C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesiam Balai Pustaka, Jakarta, 2002.

2.      Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-undangan Indonesia, UHN Press, Medan 2008.

3.    Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2000.

Peraturan Perundang-undangan :
1.      KUHP, Pustaka Yustisia, 2010
2.      Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional
3.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan
4.      Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

0 komentar:

Posting Komentar