Kamis, 18 Agustus 2011

Miskin dilarang Pinter



Fayakun,
Begitu memperhatikan Pendidikan kita, siswa yang ekonomi kurang mampu dan lulus dengan standar nasional tidak bisa melanjutkan, tetapi siswa yang berasal dari ekonomi mampu bisa melanjutkan ke sekolah lain terutama swasta dengan biaya tinggi, tentunya menjadi permasalahan, bukan karena miskin secara akademis, tetapi sistim yang diciptakan membuat mereka menjadi tidak mampu melanjutkan. Satu lagi dalam catatan kalaupun ada sejumlah siswa tidak lulus ujian nasional, kesalahannya belum tentu kesalahan siswa, tetapi kesalahan sistem.
Ujian Nasional (UN) pda tahun ini pemerintah telah memberikan porsi nilai 40 persen terhadap sekolah yang terdiri dari nilai ujian dan rapor. Sedangkan yang porsi nilai 60 persen dipegang oleh pemerintah melalui hasil ujian nasional. Untuk kelulusan nilai setiap mata pelajaran siswa wajib memiliki nilai minimum 4,00. Jika demikian formula yang dilakukan oleh pemerintah, maka pihak sekolah mungkin memahami kelayakan siswa didiknya untuk lulus atau tidak lulus. Namun yang perlu diingat oleh pihak sekolah, bahwa jika ada soal yang bocor, hal itu mudah ditelusuri karena ada kode khusus dan resikonya nilai ujian sekolah bisa dihapus (nol) dan sekolah yang bersangkutan masuk daftar hitam, kata Mendiknas Mohammad Nuh (Kompas.com, 11 April 2011). Menurut saya angka 60 persen tentunya merupakan wujud masih dominasinya peran pemerintah yang jauh dari semangat otonomi dan semangat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam menggali potensi lokal (potensi sekolah) karena penentu kelulusan bukan oleh bentuk assessment-assessment lain.
Jika dilihat dari porsi 40 persen nilai kelulusan yang ditentukan oleh pihak sekolah, dan yang 60 persen dari Ujian Nasional (UN), ini berarti kelulusan siswa yang 40 persen nilai dari sekolah tersebut rinciannya adalah sebagai berikut ; yang 24 persen merupakan hasil ujian akhir sekolah (UAS) ditambah 16 persen dari penilaian lain. Dengan demikian 84 persen kelulusan ujian ditentukan oleh ujian.
Beberapa kontroversi terhadap fakta tersebut apabila dikaitkan dengan ketentuan UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Bab XVI Pasal 57 ayat (2) yanga menyatakan bahwa, “Evaluasi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan.” Sedangkan  Pasal 58 ayat (1) Menyatakan ; “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”, dan Pasal 1 Ayat (17) menyatakan ; “Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan di seluruh wilayah NKRI”.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan demikian permasalahan Pendidikan di seluruh Indonesia memunculkan beberapa permasalahan terhadap kelulusan siswa antara lain ; Pertama, dengan 60 persen kelulusan yang ditentukan melalui Ujian Nasional (penilaian dari pemerintah), sedangkan keaktifan serta intelektual lainnya yang hanya 40 persen ini merupakan bentuk pengkebirian peran guru atau pendidik, mengingat materi lain (misalnya keaktifan serta intelektual lainnya) adalah merupakan faktor penting dalam menumbuh kembangkan intelektualitas yang bermoral dalam mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang di amanatkan dalam  Pembukaan UUD 1945;
Kedua, sesuai Pasal 57 Ayat (1) beserta Pasal 1 Ayat (17) diatas, sudahkah dilakukan pemantuan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar Nasional pendidikan? Dalam realitanya hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut sandar kebutuhan minimal secara komprehensif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal lembaga pendidikan yang mencakup : (1). Sarana dan parasana Pendidikan, (2). Pendidik, (3). Penerimaan arus informasi dan buku 4. lingkungan pendidikan, 5.Peran serta masyarakat 6. Peran media massa dalam mengontrol, dll.
Sesuai Pasal 58 ayat (1) UU No.  Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan diatas, yang mengevaluasi dan memantau proses intelektual anak didik adalah pendidik (guru). Hal ini jelas kontribusi dan peran guru dalam penentuan kelulusan anak didik sangat penting dan besar, karena sang pahlawan tanpa tanda jasa yang selama ini melihat langsung, yang mendidik, yang membina mental dan intelektual anak didik selama berada di lembaga pendidikan, dan bukan Ujian Nasional yang soal-soalnya dibuat oleh Pusat yang belum tentu memahami kondisi siswa dan sekolahan. Dalam hal ini pendidik sekolah (guru) terkesan di kebirikan oleh sistem kalau tidak ingin dikatakan potensi sekolah telah dipasung.
Pasal 35 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, dalam penjelasan dinyatakan “kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan”, di sini jelas bahwa kemampuan dan ketrampilan yang hanya diketahui oleh Pendidik/guru hampir tidak dinilai oleh Ujian Nasional (hanya 40 persen). Peran  guru dalam hal ini juga terpasung.
Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2003, materi wajib yang harus diakomodir dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat Pendidikan Agama, PKN, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya Penjas, Ketrampilan dan jasa, muatan local, kata “ wajib” merupakan suatu bentuk yang wajib diajarkan kepada anak didik, konsekuensinya materi tersebut menjadi indikator sebuah kelulusan anak didik.
Permasalahan hukum lain yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah cq seluruh (Kepala) dinas-dinas Pendidikan seluruh Indonesia, bahwa kondisi bangunan sekolah dan pendidikan nasional di Indonesia belum bisa distandarisasikan, karena bangunan yang sudah tidak layak, kinerja guru perlu ditingkatkan, konsekuensi motivasi guru sebagai pendidik perlu ditingkatkan, baik gaji/tunjangan, pendidikan, sarana dll, geografis dan budaya, arus informasi dll. Sehingga standarisasi harusnya melalui perlakuan dan penilaian yang sama dalam semua aspek, kenyataan selama ini aspek-aspek belum standar, sehingga standar nasional belum bisa dilaksanakan, namun pihak Diknas melalui proses harus melengkapi semua persyaratan yang diamanatkan oleh UU, baik sarana maupun prasarana serta ketentuan operasional serta proses sosialisasi. Saya masih menganggap bahwa kenyataan dan fakta Ujian Nasional (UN) bertentangan dengan ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang membawa dampak pada pembodohan bangsa, dan bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 1945.
Permasalahan hukum, berdasarkan UU No.14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa Salah satu hak guru dan dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan”. Sangat jelas dan tegas dalam UU ini, bahwa yang memberikan penilaian objektif terhadap kelulusan anak didik adalah guru maupun dosen, sedangkan dengan UN kiranya peran-peran guru dikebirikan, ini menyatakan bahwa UN bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2005, di mana Pemerintah dalam hal ini Diknas mengambil hak pedagogis sang pahlawan tanpa tanda jasa. Profesi guru, dalam penyelengaraan UN tidak dihargai sebagai suatu tugas mulia untuk mencerdaskan bangsa. Sadarkah pemangku Pendidikan nasional, serta dinas-dinas Pendidikan dengan kondisi ini?
Dampak lain yang ingin saya katakan dengan Ujian Nasional, siswa yang berasal dari ekonomi kurang mampu dan lulus dengan standar nasional, namun belum bisa melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi disebabkan karena NEM yang belum memenuhi standar penerimaan di sekolah yang lebih tinggi, tidak bisa melanjutkan, tetapi aneh siswa yang berasal dari ekonomi mampu malah bisa melanjutkan ke sekolah lain baik negeri maupun swasta dengan biaya tinggi.
Tentunya hal ini menjadi permasalahan, bukan karena tidak mampu secara akademis, tetapi sistim yang dibuat membuat mereka tidak mampu, bahkan banyak siswa yang telah dinyatakan lulus jalur PMDK, dan beasiswa ke Luar Negeri tetapi ia sebenarnya tidak lulus mengikuti Ujian Nasional. Kenyataan indikasi ini memperkuat “bahwa orang miskin dilarang pintar”. Adalah hal sudah tidak mungkin ditutup-tutupi ternyata dalam prakteknya memunculkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di dunia Pendidikan, yang kaya bisa bermain-main dan bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, namun yang miskin yang berprestasi tersingkir.
Ada tiga permasalahan utama di sini, yakni Pertama, dengan 60 persen kelulusan yang ditentukan melalui Ujian Nasional (penilaian dari pemerintah), sedangkan keaktifan serta intelektual hanya 40 persen ini merupakan pengkebirian peran pendidik. Sebaiknya dirubah menjadi 60-70 persen adalah penilain keaktifan serta intelektual lainnya, sedangkan 40-30 persen kelulusan ditentukan melalui UN. Hal ini sejalan dengan UU No.14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa Salah satu hak guru dan dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan”. Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana amanat UUD 1945;  Serta sejalan dengan Pasal 58 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan ; “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk memantau proses kemampuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
Dalam faktanya Ujian Nasional tentu akan menentukan nasib jutaan siswa Indonesia, padahal siswa-siswi ini dididik di dalam sistem yang dirancang sendiri oleh pemerintah. Artinya, kalaupun ada kegagalan dalam UN, kesalahannya bisa disebabkan oleh sistem pendidikan, bukan oleh siswa. Untuk itu, yang perlu dievaluasi seharusnya bukan hanya siswa, tetapi juga sistem pendidikan nasional itu sendiri. Pemerintah berlaku tidak adil karena mau mengevaluasi siswa tanpa mau melakukan evaluasi terhadap sistem yang diciptakannya sendiri. Buktinya, meskipun pemerintah sering mengatakan bahwa UN digunakan untuk melakukan pemetaan pendidikan, hal ini tidak benar-benar pernah terjadi. Sampai saat ini, belum pernah ada hasil pemetaan pendidikan yang dilakukan, apalagi disiarkan ke publik, termasuk hasil analisanya. Program-program pemerintah di bidang pendidikan termasuk rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), taman bacaan di mal, dan lain-lainnya tidak pernah dirancang berdasarkan hasil pemetaan pendidikan di Indonesia.
Kedua, pemerintah tidak memahami esensi dari sebuah assessment. Assessment, apapun bentuknya, harus digunakan untuk memberi support siswa dalam proses belajar. Assessment digunakan untuk mendeteksi apa yang dipahami maupun yang belum dipahami siswa. Oleh karena itu, assessment terhadap siswa sebaiknya dilakukan sepanjang masa sekolah, bukan di akhir massa sekolah, sehingga permasalahan apapun dihadapi siswa bisa diselesaikan saat itu juga. Sekolah tidak perlu menunggu sampai akhir masa belajar untuk mengetahui kemampuan siswa dan permasalahan siswa dalam belajar.
Ketiga, pemerintah masih menggunakan paradigma bahwa bentuk assessment yang terbaik adalah dengan ujian. Hal ini dibuktikan dengan penentuan kelulusan yang didominasi oleh ujian (84 persen). Tampaknya, dalam hal ini pemerintah sudah ketinggalan zaman. Pemerintah tidak paham bahwa di berbagai belahan dunia lainnya assessment tidak didominasi oleh ujian. Assessment ini harus dilakukan oleh guru, bukan pemerintah. Tentunya, agar guru bisa melakukan ini, pemerintah harus menciptakan sistem yang memungkinkan semua guru di Indonesia memiliki kemampuan ini.
Menurut penelitian Gardner (2010, h.2), kalau guru memperoleh pelatihan yang tepat dan efektif terkait assesment, maka penilaian guru akan jauh lebih nyata dan valid dibandingkan ujian eksternal manapun. Pertanyaannya, apakah pemerintah telah melatih guru-guru di Indonesia untuk bisa menjalankan bervarasi bentuk assessment untuk menilai siswa? Lalu, apakah sistem yang dirancang oleh pemerintah selama ini berfungsi dengan baik?
Sadar atau tidak sadar sistem pendidikan saat ini banyak menjadikan celah lahan-lahan KKN serta membuat si miskin tersingkir ketika berhadapan dengan sebuah sistem yang tak mungkin mereka masuk didalamnya karena faktor kemampuan ekonomi yang terbatas, akibatnya ia terdepak dari harapan-harapan untuk berkarya.
Ada begitu banyak pekerjaan rumah yang tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah dengan baik, yaitu mengkaji ulang sistem pendidikan saat ini, memastikan semua guru berkualitas dengan menciptakan sistem peningkatan profesi guru yang baik, memastikan tidak ada sekolah kekurangan guru, memastikan semua siswa di Indonesia bisa melanjutkan sekolah, serta memastikan anak miskin pinter.

Penulis saat ini Seorang Mahasiswa 
Program Pascasarjana Universitas Merdeka



0 komentar:

Posting Komentar